Dekan FH UNISMA Desak Pembaruan KUHAP yang Progresif dan Adil

Malang - Di tengah wacana pembaruan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Dekan Fakultas Hukum Universitas Islam Malang (UNISMA), Dr. Arfan Kaimudin, S.H., M.H., menegaskan bahwa pembaruan hukum acara pidana tidak hanya menyangkut perubahan pasal demi pasal, tetapi harus berorientasi pada penguatan struktur kewenangan dan distribusi peran antar lembaga penegak hukum.
“Reformasi KUHAP harus mampu memperjelas pembagian fungsi dalam sistem peradilan pidana: dari penyelidikan dan penyidikan oleh Polri, penuntutan oleh Kejaksaan, hingga proses pengadilan oleh lembaga yudisial. Semua harus berjalan sesuai dengan peran dan batas kewenangannya masing-masing,” ujar Dr. Arfan dalam Seminar Nasional Reformasi KUHAP yang digelar di kampus UNISMA, Senin (6/5).
Menurutnya, era baru peradilan pidana menuntut adanya sistem yang tidak hanya progresif secara prosedural, tetapi juga konsisten dalam menjamin perlindungan hak asasi manusia. Ia menyoroti persoalan klasik dalam sistem peradilan pidana Indonesia, yakni tumpang tindih kewenangan antar institusi penegak hukum yang kerap menimbulkan ketegangan institusional dan kerancuan proses hukum.
“Kita sering kali melihat tindakan penyelidikan yang berlanjut menjadi penuntutan tanpa pengawasan yang proporsional. Bahkan dalam beberapa kasus, terdapat dominasi kewenangan yang berujung pada pelanggaran hak tersangka,” kata Arfan, yang juga dikenal sebagai pakar hukum acara pidana.
Ia menegaskan bahwa prinsip check and balance harus dijadikan titik pijak dalam penyusunan ulang KUHAP. Setiap institusi penegak hukum harus memiliki batas yang jelas, tanpa intervensi atau pelebaran kewenangan yang tidak berdasar. Polri, misalnya, harus fokus pada fungsi penyelidikan dan penyidikan; Kejaksaan pada kontrol dan penuntutan; sementara peradilan harus menjaga imparsialitas dan keadilan substantif.
“Prinsip-prinsip keadilan dan perlindungan HAM hanya bisa diwujudkan bila fungsi-fungsi peradilan tidak saling tumpang tindih. Harmonisasi antar lembaga adalah syarat mutlak,” lanjutnya.
Arfan juga mendorong agar penyusunan KUHAP baru dilakukan secara partisipatif dan berbasis riset empiris, bukan semata-mata politis atau legalistik normatif. Baginya, hukum acara pidana adalah jantung sistem peradilan, dan bila tidak dikelola dengan akurat, maka keadilan yang sejati hanya akan menjadi wacana normatif belaka.
“KUHAP harus menjadi jaminan, bukan jebakan. Ia harus melindungi warga negara, bukan memperbesar potensi penyalahgunaan kekuasaan,” pungkasnya.
Pernyataan Dr. Arfan menjadi bagian dari gelombang pemikiran progresif yang mendesak agar pembaruan hukum acara pidana tidak hanya kosmetik, tetapi menyentuh akar-akar struktural dalam sistem penegakan hukum di Indonesia. (*)